Oleh Rosalind Kerven
Pada zaman dahulu hiduplah seekor kelinci yang selalu khawatir. “Aduh,” sepanjang hari dia akan bergumam, “aduh, aduh.”
Kekhawatiran terbesarnya adalah gempa bumi yang akan bisa terjadi kapan saja. “Kalau itu terjadi,” dia berkata kepada dirinya, “apa yang akan terjadi padaku?”
Suatu pagi, saat dia sedang sangat resah akan hal itu, tiba-tiba ada buah yang sangat besar jatuh dari sebuah pohon di dekat si Kelinci – BRAKKKKKK! - dan membuat seluruh tanah bergetar.
Si Kelinci langsung melompat.
“Gempa bumi!” teriaknya.
Dan dia segera berlari kencang melintasi seluruh padang rumput itu untuk memperingatkan saudara-saudaranya.
“Gempa bumi! Lari, selamatkan dirimu!”
Semua kelinci meninggalkan padang rumput tersebut dan tergesa-gesa mengikutinya.
Mereka bergegas melintasi lembah-lembah, melalui hutan-hutan dan sungai-sungai, serta menuju ke bukit-bukit sambil memperingatkan saudara-saudara mereka yang lain saat mereka melintas.
“Gempa bumi! Lari, selamatkan dirimu!”
Semua kelinci meninggalkan sungai-sungai dan lembah-lembah, bukit-bukit dan hutan-hutan dengan mengikuti kawanannya.
Saat mereka telah mencapai daerah pegunungan, sepuluh ribu ekor kelinci itu menciptakan getaran seperti halilintar di sepanjang lereng gunung.
Saat mereka mencapai puncak tertinggi dari pegunungan itu, si Kelinci memandang ke belakang untuk melihat apakah gempa bumi mendekat ke arah mereka. Namun yang dia lihat hanyalah gelombang besar dari kelinci-kelinci yang sedang berlari kencang.
Lalu dia melihat ke depan dan yang dia lihat hanyalah pegunungan dan lembah-lembah, serta laut biru yang gemerlap di kejauhan.
Saat dia berdiri sambil terengah-engah, datanglah seekor singa.
“Apa yang terjadi?” tanya si Singa.
“Gempa, gempa bumi!” jawab semua kelinci dengan gaduh.
“Gempa bumi?” tanya si Singa. “Siapa yang melihatnya? Siapa yang mendengarnya?”
“Tanya dia, tanya dia!” teriak semua kelinci sambil menunjuk ke arah si Kelinci.
Si Singa menoleh ke arah si Kelinci.
“Begini Tuan,” si Kelinci malu-malu berkata, “aku sedang duduk tenang di rumahku dan tiba-tiba ada dentuman mengerikan dan tanah pun bergetar. Aku tahu ini pasti gempa, Tuan. Jadi aku segera berlari sekencang mungkin untuk memperingatkan kelinci yang lain agar mereka lari menyelamatkan diri.”
Si Singa memandang semua kawanan kelinci dengan matanya yang dalam dan bijaksana.
“Saudaraku, apakah kamu cukup berani untuk menunjukkan kepadaku di mana bencana yang mengerikan ini terjadi?”
Si Kelinci sebenarnya tidak terlalu berani, namun dia merasa si Singa ini bisa dipercaya.
Dengan agak malu-malu dia memimpin si Singa turun ke pegunungan dan lembah, melewati sungai, dataran, hutan-hutan, dan padang rumput, sampai akhirnya mereka tiba di rumah si Kelinci.
“Di sini tempat aku mendengarnya, Tuan.”
Si Singa memandang ke sekeliling tempat itu dan segera dia melihat buah yang sangat besar telah jatuh dari pohonnya.
Dia mengambil buah itu dengan mulutnya lalu naik ke sebuah batu besar dan menjatuhkannya kembali ke tanah.
BRAKKK!
Si Kelinci melompat “Gempa bumi! Ayo cepat, lari. Gempa lagi!”
Tapi, tiba-tiba dia tersadar kalau si Singa sedang tertawa dan dia melihat buah besar itu tergeletak di dekat kakinya.
“Oh,” dia berbisik, “jadi ini bukan gempa bumi ya?”
“Bukan,” jawab si Singa,”ini bukan gempa dan kamu tidak perlu takut.”
“Aduh, bodohnya aku!”
Si Singa tersenyum manis. “Jangan dipikirkan, saudara kecil. Kita semua, termasuk aku sendiri, kadang takut akan hal-hal yang tidak kita mengerti.”
Lalu, si Kelinci berjalan kembali ke ribuan kelinci yang masih ada di puncak pegunungan untuk mengabarkan bahwa keadaan sudah aman untuk mereka kembali ke rumah.
Diterjemahkan oleh Endro Setiawan