![]() |
![]() |
Peninggalan Kerajaan Budha di Pulau Jawa
Uraian
Sekarang mari kita membahas peninggalan Buddha di Pulau Jawa, dan itu tidak akan terlepas dari kerajaan – kerajaan yang pada waktu itu berdiri dan berjaya.
Kerajaan-kerajaan yang bercorak agama Buddha di Pulau Jawa antara lain Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno.
A. Kerajaan Kalingga
\Gambar. Peta Letak Kerajaan Kalingga
Kalingga (Ho-Ling dalam bahasa Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Buddha di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok (berita I-Tsing), juga beberapa Prasasti yang terdapat di Pulau Jawa. Kerajaan ini mencapai masa keemasannya saat diperintah oleh Ratu Maharani Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
2. Peninggalan
Prasasti peninggalan kerajaan Kalingga adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa.
Kerajaan Mataram Kuno bercorak Buddha·
Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M), yang terletak di Gunung Wukir,Kecamatan Salam Magelang, diketahui bahwa raja pertama dari Dinasti Sanjaya adalah Sanjaya yang memerintah di ibu kota bernama Medang. Disebutkan juga tentang Pulau Jawa yang subur dan banyak menghasilkan gandum atau padi dan kaya akan tambang emas.
Prasasti Canggal
Selain prasasti Canggal, ada juga prasasti Kalasan (778 M) yang terdapat di sebelah timur Yogyakarta. Dalam prasasti itu disebutkan Raja Panangkaran dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Hal itu menunjukkan bahwa raja-raja Kerajaan Mataram Kuno terbagi dua yaitu : keturunan Sanjaya dan keturunan Syailendra. Prasasti Kedu (Prasasti Mantyasih) berangka tahun 907 M mencantumkan silsilah raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mataram. Prasasti Kedu dibuat pada masa Raja Rakai Dyah Balitung.Menurut prasasti Kedu dapat diketahui bahwa Raja Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran. Selanjutnya salah seorang keturunan raja Dinasti Syailendra yang bernama Sri Sanggrama Dhananjaya berhasil menggeser kekuasaan Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai Panangkaran pada tahun 778. Sejak saat itu, Kerajaan Mataram dikuasai sepenuhnya oleh Dinasti Syailendra.Tahun 778 sampai dengan tahun 856 M sering disebut sebagai pemerintahan selingan. Sebab, antara Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya silih berganti berkuasa. Dinasti Syailendra yang beragama Buddha mengembangkan Kerajaan Mataram Lama yang berpusat di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu mengembangkan kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara. Hal ini diperkuat oleh peta persebaran candi-candi di Pulau Jawa.
Silsilah Dinasti Sanjaya & Syailendra
Dimulai dari Raja Panangkaran, terpecahlah Mataram Kuno kedalam dua kekuasaan yang saling bersaing, yakni Dinasti (Wangsa) Sanjaya & Wangsa Syailendra. Adapun bersatunya kedua wangsa ini baru terjadi saat terjadi perkawinan politik antara Rakai Pikatan (Sanjaya) dengan Pramodhawardhani (Syailendra).
Namun disini yang akan kita fokuskan adalah masa kekuasaan Dinasti Syailendra di Jawa (778 - 856 M). Raja terbesar dari Dinasti Syailendra adalah Samaratungga. Di masa pemerintahannya berhasil membangun candi Buddha kedua terbesar di dunia, yakni Candi Borobudur. Raja Samaratungga memiliki dua orang anak, yakni Pramodhawardhani (dari permaisuri), dan Balaputradewa (dari selirnya, seorang Puteri asal Kerajaan Sriwijaya). Kelak, diantara kedua saudara satu ayah berbeda ibu ini terjadi pertentangan, yang mengakibatkan pengaruh Dinasti Syailendra melemah di Jawa.
Setelah Samaratungga wafat, kekuasaan beralih kepada Balaputradewa. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856 M), menunjukkan telah terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan dengan adik iparnya tersebut. Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa (Sumatra). Ia kemudian berkuasa sebagai raja, menggantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat diketahui dari Prasasti Nalanda (India) pada tahun 860 M, yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membangun sebuah biara.
Dengan kekalahan Balaputradewa tersebut, maka otomatis pengaruh Dinasti Sanjaya menjadi tidak tergoyahkan, hingga penguasa terakhir dari Kerajaan Mataram Kuno tetaplah beragama Hindu Syiwa, namun dalam prakteknya kehidupan keagamaan di tengah masyarakat tetaplah harmonis antara penganut Hindu & Buddha, hal yang tidak terjadi di negeri tempat lahirnya kedua agama tersebut, yakni India. Hubungan harmonis itu juga tercermin dalam relief Mahabarata dan Ramayana di Candi Prambanan. Kemudian bentuk candi pun merupakan alkuturasi antara budaya Indonesia dengan India yaitu dengan bentuk candi yang berupa punden berundak.
Keadaan Ekonomi
Letak kerajaan Mataram Kuno di pedalaman menyebabkan perekonomian kerajaan sulit untuk berkembang dengan baik. Selain itu, transportasi dari pesisir ke pedalaman sulit untuk dilakukan karena keadaan sungainya dangkal dan sempit. Mataram di kelilingi oleh banyak gunung dan dialiri sungai, tak heran jika daerahnya subur. Dengan demikian perekonomian rakyat mengandalkan sektor agraris daripada perdagangan, apalagi perdagangan internasional. Dengan keadaan tersebut, wajar bila raja-raja Mataram Kuno berusaha untuk memajukan sektor pertanian,sebab dengan sektor inilah, perekonomian rakyat dapat dikembangkan.
Kehidupan Sosial-Budaya
Struktur sosial masyarakat Mataram Kuno tidak begitu ketat, sebab seorang Brahmana dapat menjadi seorang pejabat seperti seorang ksatria,ataupun sebaliknya seorang Ksatria bisa saja menjadi seorang pertapa. Dalam masyarakat Jawa, dunia manusia sangat dipengaruhi oleh alam semesta (sistem kosmologi). Dengan demikian, segala yang terjadi di alam semesta ini akan berpengaruh pada kehidupan manusia, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk keserasian alam semesta dan kehidupan manusia maka harus dijalin hubungan yang harmonis antara alam semesta dan manusia, begitu pula antara sesama manusia. Sistem kosmologi juga menjadikan raja sebagai penguasa tertinggi dan penjelmaan kekuatan dewa di dunia. Seluruh kekayaan yang ada di tanah kerajaan adalah milik raja, dan rakyat wajib membayar upeti dan pajak pada raja. Sebaliknya raja harus memerintah secara arif dan bijaksana.